Rabu, 12 Mei 2010
Rabu, 31 Maret 2010
Akuntansi dalam perspektif Islam
Dalam kehidupan sehari-hari kita tak bisa lepas dari trasaksi keuangan/ekonomi. dalam perkembangannya, kemudian muncul istilah ‘akuntansi’ pada abad ke-13 yang dicetuskan oleh Lucas Pacioli seorang pendeta dari Italia. Dalam salah satu bab dalam bukunya dia menjelaskan tentang Double Entry Bookkeeping. Sesungguhnya islam telah mengenal akuntansi jauh sebelum itu, yakni pada 610 M, yaitu 800 tahun sebelum Lucas pacioli menulis tentang Double Entry Bookkeeping tersebut. Islam menganggap masalah muamalah adalah hal yang urgent, hal ini tercermin terdapat ayat terpanjang Al-Qur’an yang mengatur tentang hal tersebut.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Albaqarah ayat 282)
Dalam bermuamalah islam mengajarkan bahwa setiap transaksi ekonomi hendakalah kita mencatatnya sebagai bukti. Dan Apabila terjadi transaksi yang bersifat material hendaknya menggunakan saksi, hal ini diperlukan karena dikhawatirkan pihak-pihak tertentu mengingkari perjanjian yang telah dibuat. Sehingga pembukuan yang disertai penjelasan dan persaksian terhadap semua aktivitas ekonomi keuangan harus berdasarkan surat-surat bukti berupa: faktur, nota, kuitansi atau akta notaris untuk menghindari perselisihan kedua belah pihak. Dengan adanya sistem pelaporan yang komprehensif akan memantapkan manajemen karena semua transaksi dapat dikelola dengan baik. Hal-hal diajarkan dalam ayat tersebut sangatlah relevan dengan teori-teori akuntansi konvensional yang kita kenal saat ini.
Menurut perspektif Islam, tujuan pencatatan(akuntansi) adalah dalam rangka menyajikan laporan keuangan secara benar sehingga diperoleh informasi yang akurat sebagai dasar perhitungan zakat. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah akuntansi sebagai bukti tertulis yang dapat dipertanggug jawabkan dikemudian hari. Pesan ini jelas dapat dilihat pada akhir surat (Q.S. Al-Baqarah:282) tersebut.
“….dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu….”
Ajaran ini mengisyaratkan bahwa Allah senantiasa memerintahkan kita untuk bertakwa (takut kepada Allah) dalam menjalankan kegiatan apapun termasuk dalam menjalankan pekerjaan akuntansi, dan membuktikan bahwa Allah senantiasa memberi petunjuk dalah hal-hal yang bermanfaat bagi manusia. Pada saat Al-Quran diturunkan, kegiatan muamalah belum sekomplek sekarang. Tetapi Allah telah mengajarkan untuk melakukan pencatatan (akuntansi) dan menganjurkan adanya bukti dan kesaksian hingga muncullah seperti sekarang ini adanya notaris, pengacara, akuntan dan sebagainya agar tehindar dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan di kemudian hari.
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berutang itu mengimlakan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikit pun daripada utangnya. Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakan, maka hendaklah walinya mengimlakan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis utang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS. Albaqarah ayat 282)
Dalam bermuamalah islam mengajarkan bahwa setiap transaksi ekonomi hendakalah kita mencatatnya sebagai bukti. Dan Apabila terjadi transaksi yang bersifat material hendaknya menggunakan saksi, hal ini diperlukan karena dikhawatirkan pihak-pihak tertentu mengingkari perjanjian yang telah dibuat. Sehingga pembukuan yang disertai penjelasan dan persaksian terhadap semua aktivitas ekonomi keuangan harus berdasarkan surat-surat bukti berupa: faktur, nota, kuitansi atau akta notaris untuk menghindari perselisihan kedua belah pihak. Dengan adanya sistem pelaporan yang komprehensif akan memantapkan manajemen karena semua transaksi dapat dikelola dengan baik. Hal-hal diajarkan dalam ayat tersebut sangatlah relevan dengan teori-teori akuntansi konvensional yang kita kenal saat ini.
Menurut perspektif Islam, tujuan pencatatan(akuntansi) adalah dalam rangka menyajikan laporan keuangan secara benar sehingga diperoleh informasi yang akurat sebagai dasar perhitungan zakat. Selain itu yang tidak kalah pentingnya adalah akuntansi sebagai bukti tertulis yang dapat dipertanggug jawabkan dikemudian hari. Pesan ini jelas dapat dilihat pada akhir surat (Q.S. Al-Baqarah:282) tersebut.
“….dan bertakwalah kepada Allah, Allah mengajarmu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu….”
Ajaran ini mengisyaratkan bahwa Allah senantiasa memerintahkan kita untuk bertakwa (takut kepada Allah) dalam menjalankan kegiatan apapun termasuk dalam menjalankan pekerjaan akuntansi, dan membuktikan bahwa Allah senantiasa memberi petunjuk dalah hal-hal yang bermanfaat bagi manusia. Pada saat Al-Quran diturunkan, kegiatan muamalah belum sekomplek sekarang. Tetapi Allah telah mengajarkan untuk melakukan pencatatan (akuntansi) dan menganjurkan adanya bukti dan kesaksian hingga muncullah seperti sekarang ini adanya notaris, pengacara, akuntan dan sebagainya agar tehindar dari kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan di kemudian hari.
Langganan:
Postingan (Atom)